Hari itu, tidak seperti biasanya, si burung bangau tepekur di
pinggir telaga yang penuh ikan. Pemangsa ikan itu tampak murung. Biasanya, si
leher panjang itu langsung menukik ke tengah telaga, menangkap ikan untuk
mangsanya. Tapi hari itu, tidak. Ikan yang biasanya ketakutan, dan segera
berhamburan menyelamatkan diri di bawah daun teratai, begitu si bangau datang,
kali ini tidak. Sekaligus, mereka merasa heran. Ada apa dengan si cangak
(bangau) ?
Seekor kodok hujau sedari tadi bertengger di sebongkah batu, segera
tahu, lalu bertanya. “Jro Cangak, ada apa dengan dirimu ? Tidak seperti
biasanya, anda tampak suntuk.” Dengan hanya berdiri termenung, terkadang hanya
dengan satu kaki, kakinya yang lain di lipatnya ke atas, si burung bangau
menjawab dengan tenang.
“Eh, anak – anakku. Mulai hari ini kalian tidak perlu takut padaku. Aku
tidak lagi memangsa kalian. Aku sudah memikirkn untuk segera mengakhiri sifat
buruk ini. Aku akan memulai hidup dengan mencoba mematuhi perintah Tuhan dan
menjauhi laranganNya. Aku akan lebih berkonsentrasi untuk berbuat baik, sesuai
yang diamanatkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kita harus saling mengahasihi”
Lalu si burung bangau terdiam lagi. Sikapnya dijaga, agar mengesankan
kini dia telah berubah, telah benar – benar menjalankan perintah Tuhan. Si
bangau telah tampil bak seorang pendeta !
“Kami gembira mendengar pengakuan Tuan,” kata si ikan lele, seolah
mewakili teman – temannya,” kami ini semua makhluk bodoh, ijinkan kami berguru
pada Tuan, tentang kebajikan.”
Namun, semua itu hanyalah kamuflase belaka. Di hatinya yang terdiam, si
burung bangau telah menyusun rencana jahat. Dengan berpura – pura berprilaku
bak seorang pendeta, dia bisa dengan leluasa dapat memangsa semua ikan yang ada
di telaga itu. Si burung bangau punya rencana buruk dengan penampilan barunya
itu.
“Sangat berat berbuat di jalan
Tuhan,” kata burung bangau dengan dimantap – mantapkan dan diyakin – yakinkan.
“Namun, semua itu bisa dipelajari asal ada kemauan yang kuat untuk itu,”
kata Si burung bangau lagi.
Si burung bangau tetap menjaga sikapnya agar tampak tenang dan teduh.
Para ikan tampak sangat yakin dengan perkataan dan penampilan mutakhir si
burung bangau. Si burung bangau sudah berubah menjadi sesosok “pendeta”, pikir
meraka. Si burung bangau sangat senang melihat perkembangan itu. Para ikan
sudah mulai mempercayainya. Kini, hanya menunggu waktu saja untuk menjalankan
rencananya, memangsa banyak ikan. Kali ini, dengan sopan si “pendeta” bangau
pamit kepada para ikan dan terbang untuk mencari makan di tempat lain. Sebuah
muslihat yang sempurna untuk meyakinkan mangsanya. Sikap “manis” itu
diperlihatkan dan dipertahankan Si burung bangau hingga berbulan – bulan,
hingga para ikan benar – benar mempercayainya. Suatu hari, pagi – pagi, Si
burung bangau datang lagi ke telaga tempat para ikan yang diincarnya itu, hidup.
Dengan sikap yang tetap mengesankan ketenangan dan keteduhan, si burung bangau
hinggap si seonggok batu di tepi telaga. Suaranya segera dipelankan agar
terkesan sedih, prihatin.
“ Aku sedih sekali dengan nasib yang segera menimpa kalian. Tahukah
kalian bahwa telaga tempat kalian hidup ini akan segera dikeringkan oleh petani
di desa ini. Mereka akan menimbunnya dengan tanah, untuk kemudian ditanami ubi
dan sayuran. Aku dengan tanpa sengaja sempat mengintip pembicaaan mereka”.
“Benarkah?” jawab si katak hijau,
“ kalau itu benar – benar terjadi, bukanlah sebuah bencana buat kita semua?”
Tentu saja si bangau sangat senang mendengar jawaban si katak hijau.
Memang itulah kemauan si bangau, memperdayai para ikan !.
Sementara itu, si katak hijau, dengan terburu – buru melompat ke tengah
telaga, hendak segera mengabarkan berita “buruk” itu kepada para ikan penghuni
telaga.
“Benarkah itu Tuan Bangau? ”, mereka bertanya secara berebutan.
“Tentu saja benar”, jawab si
“pendeta bangau”, tetapi aku telah menemukan tempat aman buat kalian. Kita bisa
hidup disana. Aku bersedia membawamu secara bergiliran ke tempat itu”
“Terima kasih Tuan Bangau”, jawab para ikan hampir bersamaan.
Lalu, hari itu si bangau mulai
memindahkan ikan – ikan itu. Secara berebutan ikan – ikan itu menjejali paruh
si “pendeta” dadakan. Setelah itu, si bangau terbang menuju “telaga impian”.
Tentu saja, di paruhnya terselip beberapa ekor ikan yang mampu dibawanya.
Ya, begitulah prosesi pindah itu berlangsung hingga beberapa hari,
sampai akhirnya hanya si kepiting yang tertinggal. Karena badannya besar dan
punggungnya lebar, si ketam tidak mungkin diangkut dengan paruh bangau yang
panjang dan pipih itu. Si kepiting diminta si bangau untuk memegangi lehernya,
agar tidak terjatuh.
Setelah lama berputar – putar di udara, si kepiting tidak melihat tanda
– tanda sampai ke telaga impian yang telah dijanjikan. Si kepiting mulai curiga
akan maksud baik si burung bangau.
“Mana telaga yang kau janjikan?”, Tanya si kepiting. Alangkah
terkejutnya si kepiting, ketika si burung bangau mendarat di puncak sebuah
gunung. Di sebuah dataran yang cukup luas, si kepiting melihat sisik dan tulang
ikan berserakan di sana – sini. Tampaknya, si burung bangau bukan membawa para
ikan ke tanah impian, tetapi menyantapnya di sini. Puncak gunung ini bagaikan
sebuah ladang pembantaian. Kasihan benar para ikan itu, pikir si kepiting
seraya semakin memperkuat jepitannya ke leher si bangau.
“Jadi engkau elah menipu kami”,
bentak si kepiting, teman – teman kami telah kau mangsa dengan licik. “Ya, ini
salahku”, jawab si bangau sambil menahan raa sakit lehernya, karena terus
dijepit kencang – kencang oleh si kepiting dengan capitnya, “nanti bisa kita
bicarakan. Sekarang lepaskan dulu jepitanmu agar aku bisa menjelaskannya”,
pinta si bangau lagi.
“Tidak! Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi”, jawab si kepiting dengan
geram, “kau harus membayar kematian teman – temanku, dengan kematianmu juga!”
Si kepiting lalu lebih menguatkan jepitannya di leher si “pendeta”
bangau itu. Kuat dan semakin kuat. Dengan menahan rasa sakit yang amat sangat,
si bangau meregang nyawa. Dan akhirnya mati. Sebuah akhir perjalanan tragis
buat si pengkhianat.
Pesan Moral
Dongeng dari Bali, yang berjudul asli “Pedanda Baka” ini, memberikan
pelajaran yang berharga. Semestinya, kita senantiasa waspada terhadap musuh,
terlebih – lebih yang tiba – tiba menjadi baik. Pastilah ada maksud tertentu di
balik itu. Walaupun itu tidak berarti menghalangi orang untuk kembali ke jalan
yang benar. Kewaspadaan yang intens diperlukan. Pengkhianatan selalu berujung
pada permusuhan, bahkan hingga berujung pada peperangan. Maka, adalah sesuatu
yang nista bila melakukan perbuatan khianat yang nista itu. Terlebih kepada
teman sendiri. Memang ada orang yang tega berbuat seperti itu sehingga di
tengah masyarakat berkembang istilah sejenis, yaitu musang berbulu ayam ataupun
musang berbulu domba.
No comments:
Post a Comment