Saturday, January 12, 2013

Tradisi Perang Tipat-Bantal di Desa Kapal





Desa Kapal adalah salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya, desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Mengwi Badung ini memiliki tradisi yang unik dan menarik yang masih berlangsung hingga sekarang, salah satunya adalah pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tradisi perang tipat-bantal. Tradisi perang tipat kali ini dilangsungkan di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Senin (5/10). Turut ikut menyaksikan pada kesempatan tersebut Bupati Badung A.A Gde Agung, Anggota DPRD Badung I Wayan Yasa, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Badung I Made Subawa, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung IB Anom Bhasma, Kakandep Agama Kabupaten Badung IB Subawa, Camat Mengwi I Nyoman Suendi beserta tokoh-tokoh masyarakat desa Kapal.
Dalam tradisi ini masyarakat desa Kapal berkumpul di Pura Desa setempat dimana mereka melaksanakan prosesi persembahyangan yang dilanjutkan dengan menuju ke depan pura dimana mereka membagi diri menjadi dua kelompok, dipersenjatai dengan tipat dan bantal, kedua kelompok ini kemudian saling melempari, mencoba mempertemukan tipat dan bantal ini di udara.
Bendesa Adat Kapal A.A Gede Dharmayasa pada kesempatan tersebut menjelaskan bahwa tradisi perang tipat-bantal ini erat kaitannya dengan kehidupan pertanian masyarakat, sebuah tradisi unik yang dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakanNya serta berlimpahnya hasil panen di desa ini. Dimana tradisi ini dilaksanakan setiap setiap Purnama Kapat, atau pada saat purnama bulan keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September – Oktober yang pelaksanaanya diwujutkan dalam bentuk perang tipat-bantal.
Keberadaan tradisi perang tipat-bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar-lontar, salah satunya terdapat dalam lontar tabuh rah pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, ketut sudarsana, dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan pada tahun isaka 1260 atau pada tahun 1338 masehi, Raja Bali Asta Sura Ratna Bhumi Banten mengutus patihnya Ki Kebo Iwa untuk merestorasi Candi Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal. Setibanya di desa Kapal Ki Kebo Iwa melihat Desa Kapal sedang dilanda paceklik panen, risau melihat hal tersebut kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada sang pencipta dengan melakukan yoga semedi. Saat melakukan yoga semedi beliau mendapatkan sabdha dari pencipta untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat dan bantal sebagai symbol purusha dan predhana/sumber kehidupan, karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan. Dalam sabdha ini pula diperoleh agar masyarakat Kapal tidak menjual tipat karena tipat merupakan simbolisasi dari predhana/ibu pertiwi. Akhirnya setelah dilaksanakan Aci Rah Pengangon di Desa Kapal, Desa ini kembali makmur dan tenteram. Dari hal inilah berkembang tradisi perang tipat-bantal di Desa Kapal.

TRADISI MEKOTEK


Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuanmemohon keselamatan. Upacara yang juga di kenaldengan istilah ngerebek. Mekotek ini adalah warisan leluhur, adat budaya dan tradisi yang secara turun temurun terus dilakukan umat Hindu di Bali.
Pada awalnya pelaksanaan upacara Mekotek diselenggarakan untuk menyambut armada perang yang melintas di Munggu yang akan berangkat ke medan laga, juga penyambutan pasukan saat mendapat kemenangan perang Blambangan pada masa kerajaan silam.
Dahulunya upacara ini menggunakan tombak yang terbuat dari besi. Namun seiring perkembangan zaman dan untuk menghindari peserta yang terluka maka sejak tahun 1948 tombak besi mulai diganti dengan tombak dari bahan kayu pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan di pura.
Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi.
Perayaan upacara Mekotek selalu dilakukan oleh warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada setiap Hari Raya Kuningan. Selain sebagai simbol kemenangan,Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa puluhan tahun lalu.
Pada saat itu Perayaan upacara Mekotek dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda 1915 (Ida Bagus Gede Mahadewa) karena takut terjadi pemberontakan, namun akibat dari larangan tidak boleh mengadakan upacara Mekotek tersebut muncul wabah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan banyak memakan korban jiwa. Lalu terjadi perundingan dan akhirnya diizinkan kembali, sejak saat itu tidak pernah ada lagi bencana.  
Upacara  ini Makotek ini diikuti sekitar 2000 penduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar turun ke jalan dari umur 12 tahun hingga 60 tahun. Mereka mengenakan pakaian adat madya dengan hanya mengenakan kancut dan udeng batik dan membawa selonjoran kayu 2 meter yang telah dikuliti. Pada tengah hari seluruh peserta berkumpul di pura Dalem Munggu yang memanjang. Disana dilakukan upacara syukuran bahwa selama 6 bulan pertanian perkebunan dan segala usaha penduduk berlangsung dengan baik, setelah serangkaian upacara berlangsung, keseluruhan peserta melakukan pawai menuju ke sumber air yang ada di bagian utara kampung. Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok . Di setiap pertigaan yang dilewati masing masing kelompok yang terdiri dari 50 orang akan membuat bentuk segitiga menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut lalu mereka berputar, berjingkrak dengan iringan gamelan. Pada saat yang tepat seorang yang dianggap punya nyali sekaligus punya kaul akan mendaki puncak piramid dan melakukan atraksi entah mengangkat tongkatnya atau berdiri dengan mengepalkan tangan, sambil berteriak laksana panglima perang  mengkomamdoi prajuritnya untuk terus menerjang musuh lalu kemudian ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain. Sesampai di sumber air, tameng suci, segala perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi tirta air suci dan dibersihkan. Kemudian mereka melakukan pawai kembali ke Pura Dalem untuk menyimpan semua perangkat yang dibawa berkeliling tadi.
Ini adalah suatu aktraksi adat budaya yang saat menarik untuk anda saksikan,yang hanya ada di Bali pulau Dewata