Friday, October 19, 2012

Keterangan Keluarga

Peseng tiange Baiq Putri Syahidna, biasanne semeton-semeton tiang ngaukin tiang Putri. Titiang mangkin kelas 1 SMA ring Dyatmika. Dumum titiang TK ring TK Bakti, SD ring Tumbuh Kembang, lan SMP ring Cipta Dharma. Titiang medue 4 anggota keluarga: 




Niki Bapa tiang mapesengan Lalu Satria Budi Surya Dharma, biasanne ngaukin Dharma/Surya. Bapa tiang makarya ring businessman. 




Niki Ibu tiang mapesengan Sarita Donoseputro, biasanne ngaukin Sarita. Ibu tiang makarya ring griya antuk ngaryanin kue. 




Tiang medue adi istri mapesangan Baiq Almira Syarifa, biasanne ngaukin Mira, mangkin kelas 1 SMP ring Albana. 




Lan niki adi lanang mapesangan Lalu Satria Syuja Makarim, biasanne ngaukin Syuja, mangkin kelas 3 SD ring Albana. 

Thursday, October 18, 2012

PUPUH GINADA


Pupuh ginada wantah silih tunggil tembang alit utawi sekar alit. Pupuh niki maduwe ciri kaiket antuk aturan (pada lingsa) makadi akeh baris ring tiap baitne (pada) inggih punika 8 besik. Sampun kenten akehne suku kata ring tiap-tiap baris (carik) lan suaran untat tiap-tiap baris inggih punika, 8a 8i 8a 8u 8a 4i 8a. Minab sampun wenten contone ring posting tiang sane dumunan. Niki mangkin malih tiang ngicen contone. Iseng cingak tiang ring buku tugas adin tiange wenten conto-contone:


Pupuh Ginada
1.            Titiang melajah ngae tipat

Ngantos titiang ngulangunin

Kewehe mekudang-kudang

Besik dua nganti telu

Meme bapa ketakonang

Keweh gati
Ento patut kaplajahang.
2.            Mai timpale makejang

Melajah matembang bali

Tembang bali ne budaya

Warisan para leluhur

Patut raga lestariang

Tembang bali

Ento patut keajegang.
3.            Janintitiang maan tugas 

Tugas sane miweh gati 

Sawireh tusing biyasa

Kajudi makarya pupuh

Sinom utawi ginada 

Dados milih

Nanging teteptusing bias.
4.            Liu anak ngulah-ulah

Keto mase sedeng paling

Melajahe kesaratang

Ape ane sedeng ruruh

Melajah ngalih sawitra

Yan besidi 

Ape ruruh lakar bakat.
5.            Ene madan karma laksana
        Sajeroning kantun maurip 

        Jele melah pengelaksana

        Ento neket diraga tuhu

        Bekelan kayang kawekas

        Bin numadi

        Pangde nemu kesengsaran

Tradisi Perang Pandan di Tenganan, Karangasem




Perang Pandan adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (dewa perang) dan para leluhur. Perang Pandan disebut juga mekare-kare. Kegiatan upacara ritual ini diadakan tiap tahun bulan juni di Desa Tenganan, yang terletak di 70 km timur Denpasar Bali lebih kurang 70 menit menggunakan kendaraan bermotor, desa ini masuk salah satu desa tua di Bali, desa ini disebut Bali Aga. Lokasi desa ini dikelilingi bukit, sementara bentuk desa sendiri seperti layak nya sebuah benteng yang hanya mempunyai empat pintu masuk dengan sistim penjagaan,sehingga lebih memudahkan untuk tahu siapa saja yang datang dan pergi dari desa tersebut.

Kepercayaan yang dianut warga desa Tenganan berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Warga desa Tenganan mempunyai aturan tertulis atau awig-awig yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka,juga tidak mengenal kasta dan diyakini Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan. Sementara Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi.

Konon menurut cerita, pada zaman dahulu kawasan Tenganan dan sekitarnya diperintah oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang lalim dan kejam, ia bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan, mendengar itu para dewa di surga pun murka, lalu para dewa mengutus Dewa Indra untuk menyadarkan atau membinasakan Maya Denawa, dengan cara mengangkat Dewa Indra sebagai panglima perang atau pemimpim pertempuran. Melalui pertempuran sengit dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit, akhir nya Maya Denawa dapat kalahkan.

Upacara Perang Pandan/Mekare kare ini diadakan 2 hari dan diselenggarakan 1 sekali dalam setahun pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) dan merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.Tempat pelaksanaan upacara Mekare-kare ini adalah didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa. Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), untuk para pria hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju, bertelanjang dada.

Perlengkapan Perang ini adalah pandan berduri diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada, sementara untuk perisai yang terbuat dari rotan. Setiap pria (mulai naik remaja) didesa ini wajib ikut dalam pelaksanaan Perang Pandan, panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu. Dengan tinggi sekitar 1 meter, tanpa tali pengaman mengelilingi.

Sebelum Perang Pandan dimulai,diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan,lalu diadakan ritual minum tuak, tuak dalam di bambu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Kemudian tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping panggung.

Saat upacara Perang Pandan akan dimulai, Mangku Widia pemimpin adat di Desa Tenganan memberi aba-aba dengan suaranya, lalu dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman rotan di tangan kiri. Penengah layaknya wasit berdiri di antara dua pemuda ini.

Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini disebut pula megeret pandan. Peserta perang yang lain bersorak memberi semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua pemuda itu saling berangkulan dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek yang lain.

Pertandingan ini tidak berlangsung lama. Kurang dari satu menit bahkan. Selesai satu pertandingan langsung disambung pertandingan yang lain, Ini dilakukan bergilir (lebih kurang selama 3 jam).

Seusai upacara tersebut semua luka gores diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan luka. Tidak ada sorot mata sedih bahkan tangisan pada saat itu karena mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira. Tradisi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, dewa perang yang dihormati dengan darah lewat upacara perang pandan, dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.

Setelah Perang Pandan selesai kemudian ditutup dengan bersembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan mempersembahkan/menghaturkan tari Rejang.

Adat istiadat harus kita junjung tinggi karena merupakan citra diri juga melambangkan harga diri akan suatu negeri. Adat istiadat jangan sampai hilang agar orang tahu dari mana kita berasal. Bali pulau dewata menampilkan berbagai macam keindahan.