Monday, August 26, 2013

Tradisi Pemakaman di Terunyan, Kintamani, Bangli

Terunyan adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, Indonesia. Terunyan terletak di dekat Danau Batur. 
Masyarakat Trunyan mempunyai tradisi pemakaman dimana jenazah dimakamkan di atas batu besar yang memiliki cekungan 7 buah.
Jenazah hanya dipagari bambu anyam.
Adat Desa Terunyan mengatur tata cara menguburkan mayat bagi warganya. Di desa ini ada tiga kuburan (sema) yang diperuntukan bagi tiga jenis kematian yang berbeda. Apabila salah seorang warga Terunyan meninggal secara wajar, mayatnya akan ditutupi kain putih, diupacarai, kemudian diletakkan tanpa dikubur di bawah pohon besar bernama Taru Menyan, di sebuah lokasi bernama Sema Wayah. Namun, apabila penyebab kematiannya tidak wajar, seperti karena kecelakaan, bunuh diri, atau dibunuh orang, mayatnya akan diletakan di lokasi yang bernamaSema Bantas. Sedangkan untuk mengubur bayi dan anak kecil, atau warga yang sudah dewasa tetapi belum menikah, akan diletakan di Sema Muda.
Penjelasan mengapa mayat yang diletakan dengan rapi di sema itu tidak menimbulkan bau padahal secara alamiah, tetap terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut ini disebabkan pohon Taru Menyan tersebut, yang bisa mengeluarkan bau harum dan mampu menetralisir bau busuk mayat. Taru berarti pohon, sedang Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan ini, hanya tumbuh di daerah ini. Jadilah Tarumenyan yang kemudian lebih dikenal sebagai Terunyan yang diyakini sebagai asal usul nama desa tersebut.
 Berkas:Bamboo cages for the deceased in Trunyan, Bali.jpg
Berkas:Human skull, Trunyan, Bali.jpg
Berkas:The body of a young lady left out in the open to decompose, Trunyan, Bali.jpg
Berkas:Banyan tree and bamboo cages for the deceased, Trunyan, Bali.jpg
Berkas:Human skulls, Trunyan, Lake Batur, Bali.jpg

Cerita Mayadanawa, Latar Belakang Hari Galungan


Cerita Mayadanawa merupakan gabungan antara cerita sejarah dan mithologis. Cerita ini merupakan latar belakang pelaksanaan Hari Raya Galungan bagi umat Hindu.

Pada zaman dahulu, bertahta seorang raja Mayadanawa, keturunan Daitya (Raksasa) di daerah Blingkang (sebelah Utara Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur. Beliau adalah raja yang sakti dan dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup pada masa Mpu Kul Putih. Karena kesaktian sang raja, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan dapat ditaklukkannya. Karena kesaktiannya, Mayadenawa menjadi sombong dan angkuh. Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan upacara keagamaan dan merusak semua Pura. Rakyat menjadi sedih dan sengsara, namun tak kuasa menentang Raja yang sangat sakti. Tanaman penduduk menjadi rusak dan wabah penyakit menyerang di mana-mana.Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan yoga semadhi di Pura Besakih untuk mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan. Beliau mendapat pawisik/petunjuk agar meminta pertolongan ke India (Jambudwipa). Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Sorga, yang dipimpin oleh Bhatara Indra dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap. Dalam penyerangan melawan Mayadanawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sangjayantaka. Sedangkan pasukan induk dipimpin langsung oleh Bhatara Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa, dengan mengirim Bhagawan Naradha.

Menyadari kerajaannya telah terancam, Mayadanawa mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki pasukan Bhatara Indra serta menyiapkan pasukannya. Ketika pasukan Bhatara Indra menyerang, pasukan Mayadanawa memberikan perlawanan yang hebat. Pasukan Bhatara Indra unggul dan membuat pasukan Mayadanawa melarikan diri bersama patihnya yang bernawa Kala Wong. Karena matahari telah terbenam, peperangan dihentikan. Pada malam harinya, Mayadanawa menciptakan mata air yang beracun di dekat tenda pasukan Bhatara Indra. Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan mengendap dengan memiringkan telapak kakinya, sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama Tampak Siring.

Keesokan harinya banyak pasukan Bhatara Indra yang jatuh sakit karena minum air yang beracun. Melihat hal itu, Bhatara Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian dinamakan Tirta Empul, dan semua pasukannya bisa disembuhkan kembali. Bhatara Indra dan pasukannya melanjutkan mengejar Mayadanawa. Untuk menyembunyikan dirinya, Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Manuk Raya (ayam), dan daerah tersebut dinamakan Desa Manukaya. Bhatara Indra tak bisa dikibuli dan terus mengejar. Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Buah Timbul sehingga daerah itu dinamakan Desa Timbul, kemudian menjadi Busung (janur) sehingga daerah itu dinamakan Desa Blusung, menjadi Susuh sehingga daerah itu dinamakan Desa Panyusuhan, kemudian menjadi Bidadari sehingga daerah itu dinamakan Desa Kadewatan dan menjadi Batu Paras (batu padas) bersama patihnya Si Kala Wong. Batu padas tersebut dipanah oleh Bhatara Indra sehingga Mayadanawa dan patihnya menemui ajalnya. Darahnya terus mengalir membentuk sungai yang disebut Sungai Petanu. Sungai itu dikutuk oleh Bhatara Indra yang isinya, jika air sungai itu digunakan untuk mengairi sawah akan menjadi subur, tetapi ketika dipanen akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Kutukan itu berumur 1000 tahun

Kematian Mayadanawa tersebut diperingati sebagai Hari Raya Galungan, sebagai tonggak peringatan kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).

Lontar Jaya Kasunu menceritakan bahwa pada saat akan naik tahta, Sri Jaya Kasunu melihat rakyat Bali diserang penyakit hebat dan raja-raja yang memerintah sebelum beliau selalu berumur pendek. Beliau melakukan yoga samadhi dan mendapat petunjuk Tuhan yang berwujud Bhatara Durgha, bahwa masyarakat sebelumnya telah melupakan Hari Raya Galungan. Juga agar setiap keluarga memasang Penjor pada Hari Raya Galungan

Baris Cina, Tari Sakral di Sanur dan Kuta



Tari Baris Cina merupakan jenis tarian Bali yang diduga kuat mendapat pengaruh budaya Tionghoa. Selain dari namanya, hal itu terlihat dari gerakan dan tata busananya. Gerakan tarian ini lebih menyerupai gerakan pencak silat atau kung fu. Hampir tak ada jejak pepakem (gerak dasar) tari Bali dalam tarian itu. Busana yang dikenakan para penarinya pun unik. Mereka mengenakan setelan celana panjang dan baju berlengan panjang dan berselempang kain. Di pura tertentu, penarinya juga mengenakan kacamata hitam ala juragan Tionghoa. Sebagai penutup kepala, mereka mengenakan topi bundar, bukan udeng atau gelungan sebagaimana yang dikenakan oleh penari tarian maskulin Bali pada umumnya. Senjata yang dibawanya pun bukan keris, melainkan pedang. 

Baris Cina ditarikan oleh 18 laki-laki yang dibagi atas dua kelompok. Sembilan orang baris putih, dan sembilan orang barisselem (hitam). Keduanya melambangkan rwa bhineda yaitu dua kutub berseberangan yang selalu ada di alam semesta ini. Dalam terminologi Thionghoa disebut dengan Yin-Yang. 

Musik pengiring Baris Cina adalah Gong Beri yaitu seperangkat instrumen yang terdiri dari sungu, tawa-tawa ageng, tawa-tawa alit, kempli, kajar, bebende, klenang, cenceng, beduk serta gong ber dangong bor. Gong Ber dan Gong Bor keduanya merupakan gong yang tak bemoncol di tengah-tengahnya. Ketika dipukul keduanya mengeluarkan bunyi sember, tidak merdu seperti gong yang bermoncol.  

Begitu ditabuh, perangkat gamelan tersebut menimbulkan bunyi-bunyian yang membakar semangat. Persis seperti musik perang. Apalagi sebelum keseluruhan orkestra dimainkan, musik diawali dengan kumandang sungu (alat musik tiup dari kerang) yang terkesan seperti sangkakala peperangan. 

 Dalam buku Evolusi Tari Bali, pakar etnonusikologi dan pengamat tari Bali Profesor I Made Bandem memperkirakan tari Baris Cina tumbuh sekitar tahun 835, saat Prasasti Blanjong dituliskan. Tapi dia tak menjelaskan apakah Tari Baris Cina dan Gong Beri lahir pada saat yang bersamaan sebagai satu kesatuan atau dalam periode yang berbeda kemudian dikawinkan. 

 Tarian Baris Cina kini menjadi tarian sakral di Pura Dadia Banjar Kelod (Renon), Pura Mertasari Belanjong (Sanur), Pura Segara (Sanur), Pura Gerua Delod Peken-Intaran (Sanur), dan Pura Petitenget (Kuta).

Barong Bali

Barong Bali adalah satu di antara begitu banyak ragam seni pertunjukan Bali. Barong merupakan sebuah tarian tradisional Bali yang ditandai dengan Topeng dan kostum badan yang dapat dikenakan oleh satu atau dua orang untuk menarikannya. Di Bali ada beberapa jenis barong yakni Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Landung, Barong Macan, Barong Gajah, Barong Asu, Barong Brutuk, Barong Lembu, Barong Kedingkling, Barong Kambing, dan Barong Gagombrangan.

Masyarakat Bali percaya bahwa mahluk-mahluk halus tersebut adalah kaki tangan Ratu Gede Mecaling, penguasa alam gaib di Lautan Selatan Bali yang berstana di Pura Dalem Ped, Nusa Penida. Saat itu, seorang pendeta sakti menyarankan masyarakat untuk membuat patung yang mirip Ratu Gede Mecaling, yang sosoknya tinggi besar, hitam dan bertaring, lalu mengaraknya keliling desa. Rupanya, tipuan ini manjur. Para mahluk halus ketakutan melihat bentuk tiruan bos mereka, lalu menyingkir. Hingga kini, di banyak desa, secara berkala masyarakat mengarak Barong Landung untuk menangkal bencana.

Berikut jenis-jenis Barong beserta penjelasannya: 

·         Barong Ket atau Barong Keket
barong ket di bali
adalah barong yang sosoknya menjulang tinggi. Sosoknya menyerupai manusia dengan tinggi dua kali tingga badan orang dewasa. Sosok laki-laki dinamakan Jero Gede, sedangkan pasangannya disebut Jero Luh. Konon, barong jenis dibuat untuk mengelabui mahluk-mahluk halus yang menebar bencana. Barong Ket adalah tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan. Barong ini juga memiliki pebendaharaan gerak tari yang paling lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket merupakan perpaduan bentuk antara singa, macan,sapi dan naga. Badan Barong Ket dihiasi dengan kulit berukiran rumit dan ratusan kaca cermin berukuran kecil. Kaca-kaca cermin itu bagai permata dan tampak berkilauan ketika tertimpa cahaya. Bulu Barong Ket terbuat dari kombinasi perasok (serat daun tanaman sejenis pandan) dan ijuk. Ada pula yang mengganti ijuk dengan bulu burung gagak. Barong Ket ditarikan oleh dua orang penari yang disebut Juru Saluk atau Juru Bapang. Juru Bapang pertama menarikan bagian kepala, Juru Bapang yang lainnya di bagian ekor. Biasanya Barong Ket ditarikan berpasangan dengan Rangda, yaitu sosok seram yang melambangkan adharma (keburukan). Barong Ket sendiri dalam tarian tersebut melambangkan dharma (kebajikan). Pasangan Barong Ket dan Rangda melambangkan pertempuran abadi andara dua hal yang berlawanan (rwa bhineda) di semesta raya ini. Tari Barong Ket diiringi dengan gamelan Semar Pagulingan.

·         Barong Bangkal
barong bangkal di bali
adalah barong yang menyerupai babi dewasa. Di Bali, babi dewasa jantan dinamakan bangkal, sedangkan yang betina dinamakan bangkung. Itu sebabnya barong jenis ini disebut juga dengan Barong Bangkung. Biasanya Barong Bangkal dipentaskan dengan cara ngelelawang atau menari dari pintu ke pintu berkeliling desa pada saat perayaan hari raya Galungan-Kuningan. Barong ini ditarikan oleh dua orang penari dengan iringan gamelan batel/tetamburan.

·         Barong Landung
barong landung di bali
Barong Landung ditarikan oleh seorang. Ada sebuah lubang di bagian perut barong sebagai celah pandangan sang penari. Di beberapa tempat di Bali ada juga Barong Landung yang tak hanya sepasang. Barong-barong tersebut diberi peran seperti Mantri (raja), Galuh (permaisuri), Limbur (dayang) dan sebagainya. Musik pengiring tarian Barong Landung adalah gamelan Batel. Melihat Barong Landung, kamu mungkin teringat dengan Ondel-Ondel. Ya, barong ini sangat mirip dengan tarian khas Betawi itu.

·         Barong Macan
barong macam di bali
Seperti namanya, barong ini menyerupai seekor Macan. Jenis barong ini cukup terkenal di kalangan masyarakat Bali. Pementasan barong ini sama dengan barong bangkal, yakni ngelawang berkeliling desa. Adakalanya pementasan barong ini dilengkapi dengan dramatari semacam Arja (opera tradisional Bali). Barong macan ditarikan oleh dua penari dengan iringan musik gamelan batel.

·         Barong Kedingling
barong blasblasan di bali
Barong Kedingkling disebut juga Barong Blasblasan. Ada juga yang menyebutnya barong Nong nong Kling. Secara bentuk, barong jenis ini berbeda jauh dengan barong jenis lainnya. Barung ini lebih menyerupai kostum topeng yang masing-masing karakter ditarikan oleh seorang penari. Tokoh-tokoh dalam barong Kedingkling persis dengan tokoh-tokoh dalam Wayang Wong. Saat menari, cerita yang dibawakannya pun adalah lakon cuplikan dari cerita Ramayana terutama pada adegan perangnya. Pementasan barong kedingkling ini biasanya dilakukan dengan ngelawang dar rumah- ke rumah berkeliling desa pada perayaan hari Raya Galungan dan Kuningan. Pertunjukan Barong Kedingkling diiringi dengan gamelan batel atau babonangan (gamelan batel yang dilengkapi dengan reyong). Barong Kedingkling banyak terdapat di daerah Gianyar, Bangli dan Klungkung.

·         Barong Gajah
barong gajah di bali
Barong Gajah tentu saja menyerupai Gajah. Barong ini ditarikan oleh dua orang. Karena barong ini termasuk jenis yang langka dan dikeramatkan, masyarakat Bali pun jarang menjumpai barong jenis ini. Sekali waktu, pada saat-saat khusus, barong ini dipentaskannya secara ngelewang dari pintu ke pintu berkeliling desa dengan iringan gamelan batel atau tetamburan. Barong Gajah terdapat di daerah Gianyar, Tabanan, Badung dan Bangli.

·         Barong Asu
barong asu di bali
Barong Asu menyerupai Anjing. Sama seperti Barong Gajah, Barong Asu juga termasuk jenis barong yang langka. Barong ini hanya terdapat di beberapa desa di daerah Tabanan dan Badung. Biasanya dipentaskan dengan berkeliling desa (ngelelawang) pada hari-hari tertentu dengan iringan gamelan batel atau tetamburan atau Balaganjur.

·         Barong Brutuk
barong brutuk di bali
Kamu termasuk orang yang beruntung jika sempat menyaksikan pementasan barong ini. Barong Brutuk termasuk jenis tarian langka yang ditarikan hanya pada saat-saat khsusus. Barong ini memiliki bentuk yang lebih primitive dibandingkan dengan jenis barong Bali yang lain. Topeng barong ini terbuat dari batok kelapa dan kostumnya terbuat dari keraras atau daun pisang yang sudah kering. Barong ini melambangkan makhluk-makhluk suci (para pengiring Ida Ratu Pancering Jagat) yang berstana di Pura Pancering Jagat, Trunyan. Penarinya adalah remaja yang telah disucikan, yang masing-masing membawa cambuk yang dimainkan sambil berlari-lari mengelilingi pura. Barong yang ditarikan dengan iringan gamelan Balaganjur atau Babonangan ini hanya terdapat di daerah Trunyan-Kintamani, Bangli.

Uang Kepeng, Unsur Budaya "Tangiable"




Uang kepeng atau pis bolong merupakan unsur budaya Bali kategori tangiable multifungsi. Makna pis bolong tersebut akan berbeda-beda dan tergantung di mana yang kepeng itu difungsikan. Menurut pengamat budaya dari Unud Drs. I Wayan Geriya dalam seminar pis bolong baru-baru ini, uang kepeng berfungsi ganda. Dari berfungsi ekonomi sebagai uang kartal tempo dulu (telah ditarik tahun 1959) sampai pada fungsi sosial dan religius. Kata Geriya, dari perspektif historis, tata nilai, sains dan berbagai keunikan serta keunggulan, uang kepeng di Bali tergabung sebagai warisan budaya Bali dan sekaligus warisan budaya Indonesia.

Kajian ilmiah -- dari perspektif historis, arkeologis dan antropologis -- menunjukkan bahwa pis bolong memiliki keunikan dan keunggulan sebagai warisan budaya. Uang kepeng memiliki bentuk yang khas dalam keragaman, dan umurnya relatif tua. Diperkirakan ada sejak abad IX. Pis bolong mencakup kandungan nilai historis, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan seni.

Pis bolong ini kokoh dalam konteks magis dan religius. Artinya, sudah diberhentikan sebagai uang kartal, namun tidak pernah ditarik dari peredaran. Uang kepeng memiliki nilai tunggal dan konstan yaitu satu kepeng setara dengan satu keteng.

Uang kepeng memiliki unsur asing (Cina) yang diterima dalam keberdayaan Bali secara kreatif, adaptif dan akulturatif. Uang kepeng ini berpeluang untuk dikonservasi (dilestarikan), di samping diinovasi secara kreatif dalam konteks nilai ekonomi, sosial, estetis dan religius.

Wayan Geriya yang juga dosen FS Unud ini mengatakan kajian khusus mengenai uang kepeng masih langka atau numistik. Saking langkanya, kajian yang telah ada baru beberapa saja. Misalnya buah karya sejarawan putra Bali Ida Bagus Sidemen berjudul Nilai Historis Uang Kepeng (2002-2003) dan Money, Markets and Trade in Early South East Asia karya Robert S. Wicks (1992).

Bahkan, sejarawan Indonesia Prof. Sartono Kartodirdjo menilai hasil penelitian IB Sidemen merupakan studi perdana numistik yang memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi perbendaharaan historiografi Indonesia. Ini memperkaya identitas kebudayaan Indonesia, dan Bali khususnya. Ke depan, kata Geriya, terbuka peluang studi lanjutan, baik secara disipliner maupun multidisipliner.

Cukup Luas

Ditambahkannya, sejarah mengungkapkan persebaran uang kepeng cukup luas di Asia seperti di Cina, Jepang, Kamboja, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Persebaran secara geografis di Indonesia meliputi berbagai wilayah nusantara meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Lombok dan lain-lain.

Sementara itu pengkajian dan pemahaman secara teliti terhadap uang kepeng di Bali mengantarkan kita akan adanya berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang terkait dengan usaha pelestarian unsur ini sebagai warisan budaya.

Kekuatan yang mendasar yakni keberadaan uang kepeng cukup kokoh terkait dengan alur sejarah, multifungsi dan kemampuannya untuk beradaftasi secara sosial, ekonomi dan kultural. Konteks religiusitas memiliki arti tersendiri dalam etnik orang Bali, katanya.

Kelemahannya, uang kepeng mudah dipalsu, serta lemah dalam perbandingan hukum dan kelembagaan. Berpeluang cukup besar untuk diproduksi terkait dengan multifungsi dan terbukanya nilai tambah secara ekonomis, estetis dan kultural. Tantangan pelestarian juga cukup berat terkait dengan kondisinya yang rentan pemalsuan dan kepunahan untuk jenis-jenis uang kepeng tertentu. Atau adanya alih penguasaan sebagai warisan budaya.

Strategi apa yang harus dilakukan dalam melestarikan warisan budaya uang kepeng itu? Menurut Geriya, strategi konservasi perlu seimbang dengan strategi inovasi. Aksi konservasi yang disarankannya mencakup pengokohan kelembagaan, perlindungan hukum, pengembangan museum khusus dan pembangunan kesadaran publik untuk peduli konservasi.

Aksi inovasi atau pembaruan yang disarankan meliputi langkah inventarisasi, eksperimen percontohan, reproduksi, penyiapan dan pelatihan SDM, pengadaan dana dan networking. Peranan Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali sangat vital dan diharapkan mencakup sebagai pemegang HAKI, melaksanakan produksi. Namun, perlu diwaspadai agar posisi Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali tak terjebak pada komersialisme, eksplorasi, pemalsuan dan pembelengguan kultural.