Perang Pandan adalah upacara persembahan yang
dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (dewa perang) dan para leluhur. Perang
Pandan disebut juga mekare-kare. Kegiatan upacara ritual ini diadakan tiap
tahun bulan juni di Desa Tenganan, yang terletak di 70 km timur Denpasar Bali
lebih kurang 70 menit menggunakan kendaraan bermotor, desa ini masuk salah satu
desa tua di Bali, desa ini disebut Bali Aga. Lokasi desa ini dikelilingi bukit,
sementara bentuk desa sendiri seperti layak nya sebuah benteng yang hanya
mempunyai empat pintu masuk dengan sistim penjagaan,sehingga lebih memudahkan
untuk tahu siapa saja yang datang dan pergi dari desa tersebut.
Kepercayaan yang dianut warga desa Tenganan
berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Warga desa Tenganan mempunyai aturan
tertulis atau awig-awig yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang
mereka,juga tidak mengenal kasta dan diyakini Dewa Indra adalah dewa dari
segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah
hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan. Sementara Umat
Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai
dewa tertinggi.
Konon menurut cerita, pada zaman dahulu kawasan
Tenganan dan sekitarnya diperintah oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang
lalim dan kejam, ia bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang
Bali melakukan ritual keagamaan, mendengar itu para dewa di surga pun murka,
lalu para dewa mengutus Dewa Indra untuk menyadarkan atau membinasakan Maya
Denawa, dengan cara mengangkat Dewa Indra sebagai panglima perang atau pemimpim
pertempuran. Melalui pertempuran sengit dan memakan korban jiwa yang tidak
sedikit, akhir nya Maya Denawa dapat kalahkan.
Upacara Perang Pandan/Mekare kare ini diadakan
2 hari dan diselenggarakan 1 sekali dalam setahun pada sasih kalima (bulan
kelima pada kalender Bali) dan merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yaitu
upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.Tempat pelaksanaan upacara
Mekare-kare ini adalah didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa. Waktu
pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga menggunakan pakaian
adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), untuk para pria hanya menggunakan
sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju,
bertelanjang dada.
Perlengkapan Perang ini adalah pandan berduri
diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada, sementara untuk perisai yang terbuat
dari rotan. Setiap pria (mulai naik remaja) didesa ini wajib ikut dalam
pelaksanaan Perang Pandan, panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu.
Dengan tinggi sekitar 1 meter, tanpa tali pengaman mengelilingi.
Sebelum Perang Pandan dimulai,diawali dengan
ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan,lalu diadakan ritual
minum tuak, tuak dalam di bambu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi
seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta
lain. Kemudian tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping
panggung.
Saat upacara Perang Pandan akan dimulai, Mangku
Widia pemimpin adat di Desa Tenganan memberi aba-aba dengan suaranya, lalu dua
pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di
tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman rotan di tangan kiri. Penengah
layaknya wasit berdiri di antara dua pemuda ini.
Setelah penengah mengangkat tangan
tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka memukul punggung lawan
dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul
punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini
disebut pula megeret pandan. Peserta perang yang lain bersorak memberi
semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua pemuda itu saling berangkulan
dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek yang
lain.
Pertandingan ini tidak berlangsung lama. Kurang
dari satu menit bahkan. Selesai satu pertandingan langsung disambung
pertandingan yang lain, Ini dilakukan bergilir (lebih kurang selama 3 jam).
Seusai upacara tersebut semua luka gores
diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk
menyembuhkan luka. Tidak ada sorot mata sedih bahkan tangisan pada saat itu
karena mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira. Tradisi ini adalah
bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, dewa perang
yang dihormati dengan darah lewat upacara perang pandan, dilakukan tanpa rasa
dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri
pandan.
Setelah Perang Pandan selesai kemudian ditutup
dengan bersembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan
mempersembahkan/menghaturkan tari Rejang.
Adat istiadat harus kita junjung tinggi karena
merupakan citra diri juga melambangkan harga diri akan suatu negeri. Adat
istiadat jangan sampai hilang agar orang tahu dari mana kita berasal. Bali
pulau dewata menampilkan berbagai macam keindahan.